Informasi yang kian berlimpah menjadi pedang bermata dua. Ada yang memetik kemanfaatannya. Adapun yang menjadikannya lahan berbuat kejahatan. Terlepas dari fungsi ekonomi di balik keberlimpahan informasi, sebagai user kita pun harus melek dunia digital.
Sejak dibuatnya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg di medio 1400, informasi menjadi komoditas bersama. Informasi menjadi cepat, terjangkau dan kontemporer. Di abad akhir 18, koran, televisi, dan radio pun menjadikan informasi kian esensial. Ditambah, ditemukannya komputer dan internet di awal abad 19 dan 20, informasi menjadi kian personal. Dan tidak bisa dipungkiri, setiap kita akan memiliki akses ke informasi saat ini. Dikutip dari situs statista.com, saat ini pengguna smartphone 4.6 miliar di dunia. Dan diprediksi di tahun 2019, akan ada 5.7 miliar memiliki smartphone.
Informasi yang kian berlimpah menjadi pedang bermata dua. Ada yang memetik kemanfaatannya. Adapun yang menjadikannya lahan berbuat kejahatan. Terlepas dari fungsi ekonomi di balik keberlimpahan informasi, sebagai user kita pun harus melek dunia digital. Tidak perlu menjadi tech savvy (orang yang getol teknologi) untuk bisa faham dunia digital. Ada wacana literasi digital yang sebaiknya kita coba fahami.
Istilah digital literasi sendiri muncul pertama kali di bidang pedagogis. Pemanfaatan komputer dalam pengajaran membuat kompleksitas penulisan. Dalam studi oleh Hugh di tahun 1979 mengkoinkan istilah digital literacy. Namun pada saat itu, masih terbatas pada literasi komputer untuk media komposisi pelajaran bahasa. Dan pada dasarnya, kita pun harus faham dengan literasi komputer itu sendiri. Karena semua elemen penyokong literasi digital diawali di komputer.
Stuart A. Selber dalam bukunya Multiliteracies for Digital Age mencoba memberi pendekatan post-kritikal tentang literasi komputer ini. Pendekatan ini terdiri atas 3 literasi. Berikut hal-hal yang digariskan.
Pertama, literasi fungsional. Komputer menjadi fungsinya utama sebagai alat, media atau pelengkap. Komputer dipandang sebagai media pembelajaran, penelusuran informasi, dan manajemen akses. Pada dasarnya, komputer menjadi elemen instrumental dalam literasi digital. Kita menjadi sekadar pengguna dari instrumen yang kita sebut komputer, gadget, atau smartphone.
Contohnya, kita menggunakan komputer untuk word processing, kalkulasi, desain, gaming, dll. Dan mungkin bagi generasi 2000, komputer tidak bisa terlepas dari hidup mereka. Pada tahun 2004, di sekolah di Indonesia sudah digerakkan program OSOL (One School One Laboratory). Program ini mencanangkan satu laboratorium komputer untuk tiap sekolah. Namun sepertinya program OSOL belum mencapai daerah terpencil di Indonesia.
Kedua, literasi kritikal. Pada perspektif literasi ini, komputer menjadi bagian besar dari sistem kultur, kekuasaan, dan wacana populer dalam masyarakat. Komputer menjadi artefak dalam suatu peradaban. Dengan kata lain, semua lini kehidupan kita tidak bisa terlepas dari cara berfikir kritis terhadap dunia teknologi dan informasi. Kitalah yang menjadi kritikus akan teknologi yang ada atau yang kita ciptakan.
Mungkin contoh aktual adalah menyoal berita hoax, penipuan, cyber-bully, dan radikalisme yang begitu marak. Setiap kita sebagai pengguna teknologi harus cerdas. Kritis dan bertanggung jawab atas apa yang ditulis dan disebarkan dengan media teknologi teramat penting saat ini. Karena tak ayal hal ini menyangkut kultur, kekuasaan dan wacana populer dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Ketiga, literasi rhetoris. Literasi rhetoris mencakup dua perspektif di atas dengan produk yang kita dapatkan. Dengan kata lain, setelah kita menjadi pengguna (fungsional) dan pengevaluasi (kritikal) atas komputer dan teknologi, kita pun menjadi produsen. Setelah proses yang ada, kita pun menciptakan teknologi yang bisa menjadi bagian besar wacana literasi digital. Tiap kita pun merasa ingin menjadi bagian dari teknologi.
Coba lihat saja penciptaan hardware, program, aplikasi, platform media sosial karya anak negeri. Saat kita merasa selalu menjadi pengguna. Atau saat teknologi yang ada mengecewakan. Kecenderungan mencipta sesuai kultur dan konteks populer di negeri sendiri menjadi parameter. Apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat kita dengan teknologi komputer, internet, dan smartphone?
Jadi, memahami ketiga literasi di atas menjadi dasar berkelanjutan untuk literasi digital. Komputer bukan lagi sekadar instrumen (fungsional). Media teknologi yang berbasis komputerisasi pun tidak selama sesuai konteks kultur, kekuasaan dan wacana populer (kritikal). Maka keinginan menjadi pembuat atau pencipta (rhetoris) pun muncul dalam diri kita. Pendekatan post-kritikal ini sudah begitu holistik.
Pemahaman lebih mendalam dalam wacana literasi digital akan saya bahas di artikel saya berikutnya.
Fake news have become a daily menu in many WhatsApp groups. Facebook bias timeline is teeming with partisan pages rant and filtered ads. Twitter is no different. Social trends are swarmed with fake buzzer accounts and helpless netizens expressing their concern.