Bagikan

Menuju Kewargaan Digital yang Berdaulat

Menjadi warga digital yang berdaulat dapat membangun bangsa ke arah yang lebih positif, seperti potensi penguatan ekonomi, keterlibatan masyarakat untuk berperan aktif dalam menangkal hoaks, hingga potensi partisipasi politik tanpa unsur menjatuhkan lawan politik.

Jun 18, 2021
  • Oleh: Gilang Jiwana Adikara, S.I.Kom., M.A.
  • Dosen Ilmu Komunikasi Uiversitas Negeri Yogyakarta

 

Berinteraksi di dunia digital dan menjadi warga digital (digital citizen) merupakan suatu pengalaman yang unik. Menjadi warga digital sebenarnya sama saja dengan menjadi warga negara biasa. Kita bisa mengupayakan suatu hal, berkumpul, dan saling mengemukakan pendapat. Bedanya, beragam kegiatan ini dilakukan tidak secara fisik melainkan menggunakan media komputer sebagai perantara. 

Penggunaan komputer sebagai perantara komunikasi antarwarga digital memiliki dua sisi yang berseberangan. Di satu sisi penggunaan komputer telah menyediakan ruang lebih yang jauh lebih bebas dalam bermasyarakat. Penggunaan komputer untuk berinteraksi antarwarga telah mengurangi potensi pengeluaran baik dari sisi keuangan, waktu, maupun tenaga jika dibandingkan dengan pertemuan secara fisik. 

Kita tidak perlu lagi sengaja meluangkan waktu dan tenaga untuk beranjak dari posisi saat ini untuk menyapa pengguna digital yang lain. Tidak perlu juga mengeluarkan biaya perjalanan yang mungkin memakan anggaran cukup besar jika jarak pertemuannya terpaut jauh. Saat ini semua bisa dilakukan melalui perangkat komputer yang semakin canggih, bahkan hanya segenggaman tangan seperti pada perangkat ponsel pintar. Dengan kata lain, komputer telah memangkas hambatan ruang dan waktu untuk berinteraksi. Kita bisa berdiskusi kapan saja, di mana saja.

Namun, ada konsekuensi dari keunggulan ini. Kekuatan dan potensi yang besar memerlukan tanggungjawab yang besar pula agar pemanfaatannya terarah. Kekuatan komunikasi dengan perantara komputer untuk mendukung aktivitas kewargaan ini menyimpan bahaya. Sejumlah penelitian menunjukkan penggunaan komputer sebagai mediator komunikasi berpotensi memunculkan perilaku negatif yang berkaitan dengan kurangnya kontrol terhadap diri saat berinteraksi dengan perantara komputer jika dibandingkan dengan saat berinteraksi secara langsung.

Lepasnya kontrol diri ini terjadi karena berbagai hal, antara lain sifat anonim yang muncul saat menggunakan komputer untuk berinteraksi yang membuat sebagian pengguna merasa tidak memiliki konsekuensi atas perilakunya serta ilusi bahwa pengguna komputer sedang berinteraksi dengan mesin sehingga melupakan bahwa ada manusia lain di balik mesin yang digunakan untuk berinteraksi. Hal tersebut memicu perilaku yang toxic seperti perundungan atau perilaku yang tidak pantas. Padahal jika setiap pengguna media digital bisa mengendalikan dirinya dengan baik, maka akan lahir masyarakat digital yang sehat dan produktif. 

Konsep kewargaan digital pada dasarnya merupakan perpanjangan dari konsep kewargaan yang selama ini sudah ada di dunia nyata. Tambahan kata digital pada frasa tersebut mengindikasikan keterampilan bagi para warga digital, atau kita biasa menyebutnya sebagai warganet atau netizen – internet citizen, untuk mampu menggunakan internet secara reguler dan efektif untuk kegiatan sehari-hari dalam berinteraksi dengan warga digital yang lainnya. 

Untuk dapat menciptakan kewargaan digital yang optimal, maka setiap warga digital memerlukan seperangkat keterampilan teknis untuk mengakses medium-medium penunjang komunikasi dan keterampilan kritis dalam mengelola informasi.

Peluang Kewargaan Digital

Peluang Kewargaan Digital

Jika dipetakan, terdapat tiga potensi yang muncul dari kewargaan digital yang sehat, seperti potensi penguatan ekonomi, keterlibatan masyarakat, hingga potensi partisipasi politik.  Potensi penguatan ekonomi dalam suatu kewargaan digital lahir dari pergeseran ruang ekonomi dari ruang ekonomi fisik ke ruang ekonomi dunia maya yang menawarkan kepraktisan dan penghematan sumber daya. Jika dalam dunia nyata seorang yang ingin menjual suatu barang harus menyewa lapak yang strategis, maka di dunia digital biaya sewa lapak dapat dihemat dengan membuka akun di media sosial atau marketplace daring yang saat ini sudah semakin akrab di tengah masyarakat. Sebagian besar platform ini menawarkan bebas biaya untuk membuka “toko” virtual dan memudahkan masyarakat untuk berdaya dengan membuka ruang baru untuk pertukaran ekonomi. 

Tidak hanya bermanfaat bagi para penjual, ruang ekonomi virtual ini juga memungkinkan konsumen baik barang maupun jasa untuk ikut menikmati segala kemudahan. Perputaran uang yang terjadi secara digital akan mendorong perbaikan di sektor ekonomi. Penggunaan internet sebagai ruang digital juga memecah perputaran uang yang selama ini terpusat di wilayah-wilayah ramai di Indonesia seperti di kawasan perkotaan, menjadi lebih merata. Hal ini dapat memicu pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang selama ini dianggap sepi. Walaupun tentu harus diwaspadai pula dampak negatifnya, seperti budaya konsumtif yang semakin meningkat. 

Dari sisi partisipasi masyarakat, kualitas kewargaan digital akan berkembang seiring meningkatnya partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan digital. Baik dari sisi yang bersifat rekreatif seperti hiburan maupun sisi yang lebih serius seperti pendidikan. 

Tidak ada lagi monopoli partisipasi oleh segelintir orang yang memiliki akses ke jalur informasi yang eksklusif seperti dalam kegiatan di dunia nyata. Media digital dan internet telah membuka akses dari yang tadinya bersifat eksklusif dan membuat dunia maya menjadi lebih inklusif. Contoh sederhana saja, jika dahulu untuk mendapatkan informasi pengetahuan termutakhir harus dilalui melalui jenjang formal, saat ini setiap individu dapat memperkaya diri dengan berbagai pengetahuan terbaru tanpa harus membayar mahal ongkos pendidikan. Akses informasi yang bebas telah membuka peluang untuk saling berbagi informasi antarwarga. 

Peningkatan partisipasi ini pada taraf yang lebih tinggi akan mendorong pula partisipasi politik bagi masyarakat digital. Masyarakat digital tidak lagi bersifat pasif dalam relasi kuasa dalam suatu negara. Warga digital juga bisa turut menyampaikan aspirasi politik, mengawasi jalannya pemerintahan, serta memaksimalkan hak politik yang dimilikinya. 

Mike Ribble dan Gerald Bailey secara lebih detail mengembangkan tiga potensi itu ke dalam sembilan elemen kewargaan digital, yaitu akses digital, perdagangan digital, komunikasi digital, literasi digital, etika digital, hukum digital, hak dan kewajiban digital, kesehatan dan kesejahteraan digital serta keamanan digital. Kesembilan elemen ini menjadi faktor penunjang lahirnya kegiatan kewargaan digital yang berkualitas.

Jika kita melihat data di Indonesia, tiga potensi ini agaknya perlahan mulai tampak bersemi. Berdasarkan data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia APJII, pada kuartal kedua 2020 secara umum di Indonesia saat ini Internet sudah memenetrasi 73,7% total penduduk di Indonesia. Sekitar 196,71 juta penduduk sudah terhubung dengan Internet melalui beragam perangkat digital. Jika dilihat dari pola penggunaannya, sebagian besar menggunakan internet untuk bermedia sosial (51,5%) dan berkomunikasi melalui pesan instan (32,9%). Selain itu akses pada layanan publik menjadi jawaban kedua yang cukup populer diikuti dengan akses hiburan, bermain games dan berbelanja online

Kondisi ini menunjukkan dari sisi akses masyarakat Indonesia sudah terbiasa untuk berpartisipasi dalam bertukar informasi dan menggunakan internet untuk mendukung aktivitas kewargaan. Namun data ini baru mengungkap dari sisi keterampilan akses. Kewargaan digital yang baik tidak bisa lepas dari aspek kualitatif yaitu keterampilan mengolah dan mengelola informasi.

Membangun Masyarakat Digital Madani

Seperti suatu sistem kemasyarakatan yang terjadi di dunia nyata, kewargaan digital memerlukan partsipasi aktif dari setiap penggunanya yang akan menjadi penggerak utama sistem kemasyarakatan. Partisipasi ini harus didukung dengan kesadaran pribadi dari setiap pengguna digital bahwa mereka memiliki kuasa dan peran penting dalam membangun sistem kewargaan digital dengan berbudi pekerti. Artinya perilaku pengguna media digital harus selalu merujuk pada aturan norma, etika, aturan hukum dengan mengedepankan hak dan kewajiban. 

Seperti halnya di dunia nyata, membangun kewargaan digital juga memerlukan keterampilan untuk mementingkan kepentingan umum. Keterampilan untuk menyeimbangkan antara pemberdayaan pribadi dengan kesejahteraan komunitas. Seluruh hal ini tentu tidak bisa terwujud bila tidak ada dasar pendidikan yang baik di dalam setiap warga digital. Konsep pendidikan ini tidak berarti harus dalam konteks pendidikan formal. Pendidikan nonformal dan pendidikan karakter juga memiliki peran yang sama besarnya.

Berbagai dasar tersebut sebenarnya menjadi pondasi untuk membangun iklim diskusi yang sehat. Pertukaran wacana secara inklusif yang terjadi secara berkelanjutan menjadi tenaga untuk mempertahankan suatu sistem kewargaan digital pada dasarnya tidak pernah berhenti bergerak dan berubah seiring perubahan zaman.

Filed Under: