Bagikan

Peran Kawan Tunanetra dalam Literasi Digital dan Pencegahan Hoaks

Seiring berkembangnya teknologi, kawan tunanetra memanfaatkan digital tools yang ringkas dan efisien dalam proses menerima dan memberi informasi. Terdapat dua portal yang paling up-to-date dalam menyediakan tools tersebut adalah Freedom Scientific (www.freedomscientific.com) dan NV Access (www.nvaccess.org).

Sep 17, 2021
  • Ramaditya Adikara
  • Penulis, Blogger Tunanetra, Motivator

 

Sebagai bagian dari masyarakat, kawan-kawan difabel atau penyandang disabilitas atau orang berkebutuhan khusus, adalah orang-orang yang mempunyai keterbatasan fisik. Adanya batasan tersebut membuat mereka tak dapat melakukan kegiatan sehari-hari dibandingkan dengan orang lain pada umumnya. Hal tersebut tentu saja juga berpengaruh dalam dunia literasi.

Pada dasarnya, ada dua jenis penyandang disabilitas yang terdampak langsung atas keterbatasan tersebut. Pertama, kawan tunanetra karena tak dapat/atau kurang dapat memanfaatkan indera penglihatan untuk mengakses informasi. Selain itu, dibutuhkan alat bantu khusus yang bersifat asistif untuk membantu kawan tunanetra agar dapat mengakses sumber informasi dan media digital. Kedua, kawan tunarungu yang tak dapat mendengar sehingga menemui hambatan menerima informasi dalam bentuk audio.

Pada pembahasan kali ini, penulis fokus pada kawan tunanetra. Akan diulas jenis-jenis ketunanetraan, alat bantu asistif, konten yang ramah tunanetra, dan cegah penyebaran hoaks pada kawan tunanetra.

A. Mengenal Jenis Ketunanetraan

Menurut standar yang ditetapkan WHO, ada dua jenis ketunanetraan – yaitu totally blind dan low vision. Totally blind artinya tak dapat melihat sama sekali, dimana kawan tunanetra sama sekali tak dapat memanfaatkan indera penglihatan untuk menangkap informasi visual.

Jenis kedua adalah low vision atau lemah penglihatan. Penyandang low vision masih dapat memanfaatkan indera penglihatan untuk menerima informasi visual, namun terbatas pada jarak pandang (visum) tertentu yang ukurannya di bawah standar visum yang telah ditetapkan. Low vision sendiri sangat beragam kondisinya. Ada yang masih dapat menangkap cahaya, ada pula yang dapat melihat secara utuh dalam jarak pandang yang cukup pendek (misalnya satu atau dua meter).

Pada kenyataannya, orang menduga bahwa “orang tunanetra” sama sekali tak dapat melihat. Namun, dua jenis ketunanetraan di atas memberi gambaran bahwa kawan tunanetra sebenarnya jauh lebih banyak jumlahnya di masyarakat, namun tidak dikategorikan sebagai tunanetra sebab dianggap masih dapat melihat.

Mengenali jenis ketunanetraan sangat bermanfaat dalam proses penyediaan konten, informasi, serta bahan literasi. Mereka juga dapat memanfaatkan alat yang tepat untuk mengoptimalkan diri dalam mengikuti kegiatan literasi.

B. Alat Bantu Asistif

Kawan tunanetra memanfaatkan sistem baca tulis Braille untuk dapat membaca dan menulis secara konvensional. Namun, seiring berkembangnya teknologi, digital tools menjadi alternatif yang ringkas dan efisien dalam proses menerima dan memberi informasi. Saat ini, kawan tunanetra telah dapat memanfaatkan komputer, laptop, atau gawai untuk mengakses informasi. Beragam konten yang ramah tunanetra (aksesibel) pun telah banyak tersedia.

Alat bantu asistif pertama adalah yang berbentuk perangkat keras (hardware). Ini bisa berupa kaca pembesar, scanner, dan video magnifier. Kaca pembesar dan video magnifier dapat dimanfaatkan untuk membesarkan objek atau tulisan, sehingga dapat dibaca oleh pengguna low vision. Scanner sendiri – baik yang konvensional maupun spesifik dirancang untuk tunanetra – dapat dimanfaatkan untuk mengubah atau memindai tulisan yang tercetak pada kertas menjadi format digital, yang nantinya dapat diakses aplikasi bantu tunanetra.

Alat bantu asistif berikutnya adalah perangkat lunak (software). Ada beberapa kategori yaitu pembaca layar (screen reader), pembesar layar (screen magnifier), dan alat bantu lainnya yang tidak termasuk kategori tersebut (misalnya aplikasi pembaca uang dan lain-lain). Fungsi dari pembaca layar adalah mengubah teks atau tulisan digital (seperti yang muncul di komputer atau ponsel) menjadi keluaran suara. Output tersebut diterima oleh telinga, sehingga tunanetra dapat “membaca” menggunakan pendengaran. Adapun fungsi pembesar layar adalah membesarkan objek yang muncul di layar monitor, sehingga penyandang low vision yang masih dapat memanfaatkan indera penglihatan dapat mengakses informasi yang tertera dengan mudah.

Saat ini telah banyak penyedia alat bantu asistif baik berupa software maupun hardware. Namun, dua portal yang paling up-to-date dalam menyediakan tools tersebut adalah Freedom Scientific (www.freedomscientific.com) dan NV Access (www.nvaccess.org). Pengguna perangkat Android dapat menggunakan Android Accessibility Suite, dan pemakai IOS dapat memanfaatkan Voice Over. Keduanya adalah pembaca layar yang dapat digunakan secara gratis di perangkat telepon genggam.

Google sendiri memiliki aplikasi untuk membantu kawan tunanetra, yaitu Lookout. Lookout ini seperti pemandu jalan, yang dapat mengenali objek atau medan di lingkungan sekitar. Contoh, aplikasi akan memberi tahu pengguna bahwa ‘ada kursi arah jarum jam 3’, sehingga kawan tunanetra tak menabrak dan bisa menghindarinya.

C. Konten Ramah Tunanetra

Tersedianya alat bantu asistif tak berarti kawan tunanetra bebas mengakses informasi seperti orang kebanyakan. Diperlukan adanya konten yang aksesibel, artinya dapat dikenali dan diakses dengan baik oleh alat bantu asistif tersebut. Mengapa butuh konten aksesibel? Seorang tunanetra dapat mengakses jejaring media sosial. Ia dapat membaca isi status karena berbentuk tulisan. Namun, tidak demikian saat pembaca layar menemukan gambar.

Kawan tunanetra tak dapat mengidentifikasi apa yang terlihat pada gambar. Namun, sejak pertengahan 2015, sebuah platform jejaring sosial berinisiatif untuk mengubah konten menjadi lebih aksesibel. Melalui tag khusus, saat ini kawan tunanetra sudah dapat mengetahui atau mengidentifikasi foto atau gambar, karena pembaca layar dapat membaca keterangan yang dibubuhkan dalam tag. Menariknya, tag ini tak akan muncul secara visual, jadi tidak mengganggu kenyamanan pengguna non-tunanetra. Hal ini menunjukkan bahwa penyedia konten sudah dapat membuat konten yang ramah bagi tunanetra, tanpa merusak aspek visual konten tersebut. Dalam ranah media informasi, biasanya tunanetra memanfaatkan buku bicara (audio book) dan buku elektronik (e-Book).

Buku bicara adalah bahan bacaan yang diubah ke bentuk audio, baik secara manual maupun digital. Jadi, buku atau bahan bacaan dibaca oleh satu atau lebih orang, kemudian direkam ke format audio sehingga dapat didengar oleh kawan tunanetra. Buku elektronik adalah bacaan yang telah diubah ke format digital. Format ini dianggap aksesibel bagi kawan tunanetra, sebab konten berupa tulisan dapat diakses oleh pembaca layar tanpa perlu dikonversi lagi.

D. Tunanetra dan Hoaks

Kawan tunanetra dapat mengakses beragam informasi dan turut andil dalam dunia literasi digital. Hal ini ditandai dengan adanya alat bantu asistif dan konten yang aksesibel. Kawan tunanetra dapat secara mandiri mencari, mengidentifikasi, dan memferivikasi sumber informasi tanpa khawatir melakukan kesalahan atau ditipu orang lain. Contoh sederhana, ketika tunanetra menemukan SMS berisi undian berhadiah jutaan, namun tautan yang diberikan menyesatkan.

Sejauh ini, dengan kewaspadaan yang cukup, kawan tunanetra sudah dapat mengidentifikasi hal semacam itu, sehingga tak terakses baik sengaja maupun tak disengaja. Selain itu, kawan tunanetra juga dapat secara pro-aktif berkolaborasi dengan orang non-tunanetra untuk melakukan koreksi apabila terdapat informasi yang menyimpang seputar tunanetra.

Mafindo memiliki situs www.turnbackhoax.id yang dapat diakses kawan tunanetra. Situs ini sudah ramah pembaca layar. Harapannya, kawan tunanetra dapat mengetahui hoaks yang sedang beredar dan tidak menyebarluaskan informasi hoaks yang diterima. Contoh kasus adalah pembagian Al-Qur’an Braille secara gratis yang ternyata hoaks.

Dengan adanya informasi ini, diharapkan dapat menjadi jembatan antara kawan tunanetra dan non-tunanetra untuk berpartisipasi dan berperan aktif di dunia literasi, baik dalam kegiatan formal maupun informal. Maka, kesenjangan yang terjadi akibat kurangnya pengetahuan dan hambatan fisik dapat dikurangi, sehingga tercipta kolaborasi yang baik, aman, dan aktif.

Filed Under: